SOAL UTS S2
1. Mengapa
Negara perlu menyelenggarakan pendidikan kewarganegaraan ?
a. Kemukakan
uraian historis pertumbuhan citizebship
sejak zaman Yunani (Athena & Sparta) hingga saat ini !
b. Apa
dan bagaimana perubahan orientasi kewarganegaraan pada masa kontemporer
khususnya di Indonesia saat ini ?
c. Jelaskan
bahwa Civic Education is an integrated
system of knowledge.
2. Masalah
kewarganegaraan saat ini dirasakan semakin penting kedudukannya, tetapi dalam
waktu yang sama perhatian terhadap kewarganegaraan belumlah optimal.
a. Kemukakan
permasalahan yang sebenarnya terjadi di Indonesia !
b. Adakah
teori yang dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi masalah kewarganegaraan
di Indonesia ?
3. Penanaman
dan pengembangan kewarganegaraan di kalangan young generation (hipothetical citizens), khususnya di
kalangan peserta didik sangat penting.
a. Bagaimana
strategi pengembangan pendididikan kewarganegaraan pada dimensi kurikuler di
Indonesia ?
b. Uraikan
materi (competency) sebagai bahan
pengembangan pendidikan kewarganegaraan yang cocok dan layak untuk kondisi
siswa di Indonesia !
1.
Mengapa
negara perlu menyelenggarakan PKn ?
Jawab:
Secara umum, menurut Maftuh dan
Sapriya (2005:30) bahwa, tujuan negara mengembangkan Pendiddikan
Kewarganegaraan agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizens), yakni warga negara
yang memiliki kecerdasan (civics
inteliegence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual;
memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (civics
responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan pendapat di atas dapat
penulis simpulkan bahwa PKn sebagai program pengajaran tidak hanya menampilkan
sosok program dan pola KBM yang hanya mengacu pada aspek kognitif saja,
melainkan secara utuh dan menyeluruh yakni mencakup aspek afektif dan
psikomotor.Selain aspek-aspek tersebut PKn juga mengembangkan pendidikan nilai.
Permendiknas nomor: 22/2006 tentang
standar isi menyatakan pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan
peserta didik menjadi warga negara yag memiliki komitmen kuat dan konsisten
untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (2) ditetapkan bahwa kurikulum
pendidikan tinggi wajib memuat (i) pendidikan agama, (ii) pendidikan
kewarganegaraan, dan (iii) bahasa Indonesia. Di samping itu, pada Pasal 2
dinyatakan bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD negara
Republik Indonesia. Pada Pasal 3 dikemukakan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
a.
Kemukakan
uraian historis pertumbuhan citizenship
sejak zaman yunani (Athena &Sparta) hingga saat ini?
Jawab:
Uraian
historis pertumbuhan citizenship
sejak zaman Yunani (Athena & Sparta) tidak terlepas dari para filsuf
seperti Aristotelles seperti yang terdapat dalam bukunya yang berjudul “politics”, Aristotelles menjelaskan tentang citizenshipsebagai gagasan awal terdapat
dalam buku III the theory of citizenship
and constitusion. Menurut Aristotelles kewarganegaraan tidak ditentukan
oleh penduduk atau hanya sekedar kemampuannya di depan pengadilan. Warga negara
adalah seseorang yang secara permanen menjalankan pemerintahan yang berkeadilan
dan memegang jabatan.
Kemudian uraian
historis pertumbuhan citizenship sejak Zaman Yunani muncul dengan istilah
kewarganegaraan berkembang dengan nama civicus
yang berarti penduduk sipil (citizen)
yang melaksanakan kegiatan demokrasi langsung dalam “polis” (negara kota) atau “city
state”. Dalam buku Nurmalina (2008: 59) terungkap bahwa polis adalah
Yunani, yaitu sekitar 1000-500 sebelum Masehi.Athena dan Sparta di Yunani
mengembangkan model demokrasi. Roger H. Soltau dalam bukunya An Introduction to Politics (Nurmalina,
2008: 59) menjelaskan mengenai warga negara kota di Yunani yang mengembangkan
peran serta warga negara dalam kehidupan demokratis, tidak hanya dalam
pemilihan wakil rakyat secara resmi, melainkan pula dalam kegiatan yang
bersifat rutin sehari-hari baik dalam masalah administrasi maupun aspek hukum.
Awal perkembangan citizenship dari Zaman Yunani ini yang mengembangkan citizenship di Indonesia yang dijabarkan
bahwa warga negara dengan hak dan kewajiban menjadi bagian konsep warga negara
yang dikembangkan di Yunani dengan bagian-bagian warga negara yang demokratis.
Perkembangan konsep kewarganegaraan dapat dirunut dari
abad ke 4 masa Yunani Kuno. Konsep Nasionalisme berakar dari peradapan yang
dikembangkan bangsa Yunani Purba dan Ibrani Purba. Bangsa Yunani Purba
meletakkan kesetiaan mereka yang tertinggi pada suatu ikatan politis yang
dikenal dengan polis. Berawal dari kedua bangsa inilah akar nasionalisme yang
kemudian mewarnai corak bangsa-bangsa modern dewasa ini. Pada
masa Yunani Purba, negara diartikan sebagai suatu persekutuan hidup politis;
suatu persekutuan hidup yang berbentuk polis
(negara kota), di mana persekutan hidup tersebut memiliki karakteristik
sebagai berikut:
1. Adanya
suatu keterhubungan yang bersifat organik antar warga negara;
2. Adanya
suatu hubungan antar warga negara yang khusus, akrab, mesra, dan lestari; dan
3.
Negara tidak terlalu besar dan kecil.
Kedudukan negara sebagai prioritas tertinggi.
Berdasarkan
uraian di atas, maka zaman Yunani (Athena dan Spartan) cenderung untuk membuat
warga negaranya menjadi warga negara yang patuh pada putusan
pemerintah.Konsepsi kewarganegaraan yang ditawarkan mempunyai tendensi ke arah
teori kewarganegaraan komunitarian.Di mana teori komunitarian ini memiliki
makna bahwa ‘setiap orang warga negara perlu memiliki sejarah perkembangan
masyarakat.Individualitas yang dimiliki warga negara berasal dan dibatasi oleh
masyarakat.’ (Abdul Aziz Wahab dan Sapriya, 2011:188).
Zaman
Athena
Pada puncak
kejayaan Yunani telah mencetuskan kewarganegaraan republik yang merupakan bentuk dari
pertentangan dari berkembangnya paham Demokrasi Liberal dimasa itu.Pada masa
ini Yunani mengaharapkan agar masyarakat mampu memberikan peran sertanya dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan kelembagaan hukum.Sedangkan di Sparta terkenal
karena pengabdian masyarakat tanpa pamrih.Pada
masa ini bangsa Yunani mengharapkan peran serta masyarakatnya agar dapat
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pemerintahan yang baik.
Salah satu
sumber yang paling bermanfaat bagi sejarah dan tugas kewarganegaraan Athena
adalah tulisan tentang, The Athenian
Constitution.Penjelasan ini
memberikan penjelasan bahwa warga negara
diberi akses yang lebih mudah terhadap
hukum. Dan warga negara dibagi kedalam
empat kelas yaitu:
1. kelas
lima ratus gantang,
2. pasukan
berkuda,
3. prajurit
yang terdaftar, dan
4.
buruh.
Zaman Sparta
Perubahan yang terjadi di Sparta menghasilkan sebuah gaya warganegara dengan
sejumlah segi yang saling berkaitan, yang semuanya penting bagi gaya kewarganegaraan
Sparta, yaitu:
a.
prinsip
kesetaraan;
b.
kepemilikan
sebagian besar tanah rakyat;
c.
ketergantungan
ekonomi terhadap pekerjaan budak;
d.
sebuah
sistem asuhan dan pelatihan yang keras;
e.
pengambilan
makanan di ruang makan umum;
f.
wajib
militer;
g.
atribut
kebaikan kewarganegaraan; dan
h.
partisipasi
dalam pemerintahan negara.
Inilah uraian singkat tentang historis pertumbuhan citizenship sejak zaman Yunani, kemudian
menyebar ke Amerika dan hal inilah yang mempengaruhi pertumbuhan citizhensip di Indonesia sampai saat ini.
b. Apa dan bagaimana perubahan
orientasi kewarganegaraan pada masa kontemporer khususnya di Indonesia saat ini ?
Jawab:
Istilah “Pendidikan Kewarganegaraan” di
Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan
Pendidikan Kewarganegaraan yang lebih dikenal dengan nama Civic Education di USA menunjukkan adanya perluasan dari waktu ke
waktu.
Secara historis pertumbuhan Civic
Education dapat digambarkan sebagi berikut (Sumantri, 1957:31):
a.
Civics (1790)
b.
Community Civics (1970, A.W. Dunn)
c.
Civic Education (1901, Harold Wilson)
d.
Civic-Citizenship Education (1945, John Mahoney)
e.
Civic-Citizenship Education (1971, NCSS)
Penjelasan mengenai Civics menpunyai
kesamaan yang sama yaitu membahas mengenai “government”, hak dan kewajiban
sebagi warga negara. Akan tetapi, arti Civics dalam perkembangan selanjutnya
bukan hanya meliputi “government” saja, kemudian dikenal istilah Community
Civics, Economic Civics, dan Vocational Civics.
Gerakan “Community Civics” pada tahun 1970
dipelopori oleh W.A. Dunn adalah untuk menghadapkan pelajar pada lingkungan
atau kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan ruang ringkup lokal,
nasional maupun internasional. Gerakan “community civics” disebabkan pula
karena pelajaran civics pada waktu itu hanya mempelajari konstitusi dan
pemerintah saja, akan tetapi kurang memperhatikan lingkungan sosial.
Selain gerakan community civics, timbul
pula gerakan civic education. Ruang lingkup Civics Education (Somantri,
1975:33), antara lain:
a.
Civic Education meliputi seluruh program dari sekolah.
b.
Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan
belajar mengajar, yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yang lebih baik
dalam masyarakat demokratis.
c.
Dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang
menyangkut, pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat
obyektif hidup bernegara.
Kuhn (Winataputra dan Budimansyah,
2007:71) mengemukakan bahwa, perkembangan istilah Civics dan Civic Education di
Indonesia terjadi pada tahun :
1.
Kewarganegaraan (1957), membahas cara memperoleh dan
kehilangan kewargaan negara.
2.
Civics (1962), tampil dalam bentuk indoktrinasi
politik.
3.
Pendidikan Kewargaan Negara (1968) sebagai unsur dari
pendidikan kewargaan Negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial.
4.
Pendidikan Kewargaan Negara (1969) tampil dalam bentuk
pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS
5.
Pendidikan Kewargaan Negara (1973) yang diidentikkan
dengan pengajaran IPS.
6.
Pendidikan Moral Pancasila (1975 dan 1984) tampil
menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4.
7.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994) sebagai
penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil
dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4.
c.
Jelaskan
bahwa civic education is an integrated
system of knowledge.?
Jawab:
Pernyataan bahwa civic education is an integrated system of
knowledge dapat kita perkuat
dengan merujuk pada konsep civic sebagai ilmu dan civic sebagai multidisipliner.
1.
Konsep
civic sebagai ilmu: dari berbagai definisi civics yang dikemukakan oleh para ahli secara tegas terungkap
bahwa civics sebagai suatu ilmu (the
science of citizenship) yang membahas atau mengkaji tentang hak dan
kewajiban sebagai warga negara. Jika dicoba mengkaitkan dengan karakteristik
dari ilmu : yaitu objektif, sistematis, ekperimental, memperluas pengetahuan,
dan bermetode. Maka setelah menelaah syarat-syarat ilmu sebagaimana diuraikan
diatas, kiranya cukup jelas dan sangat beralasan jika civics itu sebagai suatu ilmu, karena civics memiliki objek
kajian, memiliki sejumlah metode, bersifat objektif dan sistematis,
eksperimental, dan dapat memperluas pengetahuan.
2.
Civics
sebagai multidisiplinar: jika dilihat pohon ilmu, maka induk dari segala ilmu
adalah Filsafat, selanjutnya secara umum ilmu dibagi menjadi 3 jenis ilmu yaitu
: ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu humaniora. Berdasarkan uraian diatas
nampak posisi civics atau ilmu kewarganegaraan sebagai salah satu bidang kajian dalam ilmu-ilmu
sosial. Dalam kaitannya dengan bahan yang diajarkan dalam civic, Nu’man
Somantri (2008 : 14) mengatakan bahwa civic bukanlah semata-mata mengajarkan
pasal-pasal UUD, melainkan harus mencerminkan pula hubungan prilaku warga
negara dalam kehidupannya sehari-hari dengan manusia lain dan alam sekitarnya.
Karena itu, materi civic hendaknya memasukkan unsur-unsur: (a) lingkungan
fisik, (b) sosial, pendidikan, kesehatan, (c) ekonomi, keuangan, (d) politik,
hukum, pemerintahan, (e) agama dan etika, (f) ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagai kesimpulan akhir bahwa kedua
konsep inilah yang melatarbelakangi pendidikan kewarganegaraan sebagai “civic education is an integrated
system of knowledge”.
Pendidikan
kewarganegaraan secara epistemologis menurut Numan Soemantri (2001) merupakan “synthetic
discipline atau menurut Hartoonian (Dalam Sapriya, 2012) sebagai“integrated
knowledge system”, atau dikemukakan oleh Hahn dan Torney Purta : 1999,
2001) sebagai crossdisciplinarystudy atau istilahnya Derricot and Cogan
(1998) sebagai “pendidikan multi dimensional”. Winataputera
dalam desertasinya (2001) mengemukakan PKn sebagai “kajian lintas
bidang keilmuan”, yang secara substantif ditopang terutama oleh ilmu politik
dan ilmu-ilmu sosial, serta humaniora, dan secara pedagogis diterapkan dalam
dunia pendidikan persekolahan dan masyarakat.
Menurut
Yosaphat Haris Nusarastriya
(2012) secara pragmatis Pendidikan Kewarganegaraan memiliki visi socio
pedagogis untuk mendidik warganegara yang demokratis dalam konteks yang
lebih luas, yang mencakup konteks pendidikan formal dan pendidikan non formal.
Sedangkan secara umum PendidikanKewarganegaraan memiliki visi formal pedagogis
untuk mendidik warga negara yang demokratis dalam konteks pendidikan formal. Di
Indonesia PKn memiliki visi formal-pedagogis yakni sebagai mata pelajaran
sosial dalam dunia persekolahan dan Perguruan Tinggi yang berfungsi sebagai wahana
untuk mendidik warga negara Indonesia yang Pancasilais.
Pendidikan
kewarganegaraan sebagai suatu bentuk kajian lintas bidang keilmuan pada
dasarnya telah memenuhi kriteria dasar-formal suatu disiplin (Dufty, 1987 dalam
Soemantri:1993) yakni mempunyai “community of scholars, abody of thinking,
speaking, and writing, a methode of approach to knowledge” dan “mewadahi”
tujuan dan warisan system nilai (Somantri : 1993). PKn merupakan disiplin
terapan yang bersifat deskriptif-analitik, dankebijakan pedagosis. Jika dilihat
dari pandangan Kuhn (1966) secara paradigmatic, “pendidikan
kewarganegaraan sebagaimana dirumuskan dalam desertasinya, menurut Winataputra
(2001) baru memasuki pre-paradigmatic phase atau proto science.
2. Masalah kewarganegaraan saat ini dirasakan
semakin penting kedudukannya, tetapi dalam waktu yang sama perhatian terhadap
kewarganegaraan belumlah optimal.
a. Kemukakan
permasalahan yang sebenarnya terjadi di Indonesia?
Jawab:
Menurut Azis Wahab,
(2006) dalam Budimansyah Dasim, (2007:p.61) bahwa permasalahan yang paling
signifikan dalam Pendidikan Kewarganegaraan terutama yang menjadi landasan dan
teorinya dari waktu ke waktu dan dari masa ke masa adalah konsep-konsep
Pendidikan Kewarganegaraan yang telah dikenal secara teoritik dapat dikatakan
telah memadai, namun yang menjadi persoalannya adalah implikasinya dalam
pengajaran yang perlu dipertajam makna dan pemahamannya.
Warga negara yang akan
dihasilkan melalui pendidikan khususnya Pendidikan Kewarganegaraan, pada
dasarnya adalah disesuaikan dengan kepentingan “rezim” yang berkuasa, yang
digambarkan sebagai pendidikan yang menekankan pada “ nation and character
building” yang menekankan pada nasionalisme, dan rezim berikutnya
menekankan pada terbentuknya “ Manusia Indonesia Seutuhnya” yang berorientasi
pada pengisian kemerdekaan dengan pembangunan yang lebih mengutamakan
pendekatan keamanan pembangunan ekonomi, serta perkembangan dan keunggulan
teknologi dengan menomorduakan pengembangan manusianya yang kelak akan
melakukan dan memanfaatkan semua yang dihasilkan dari pendekatan yang keliru
tersebut.
Dalam era reformasi tekanan
untuk melakukan perubahan dan menetapkan kebebasan serta persamaan yang
didasari oleh penegakkan hukum dan aturan-aturan yang berlaku merupakan
tuntutan masyarakat guna mencapai masyarakat Indonesia yang madaniah melalui
upaya menyiapkan warga negara demokratis, cerdas dan religious.Terjadinya
perubahan–perubahan yang dalam istilah atau pengertian membentuk “warga negara
yang baik” dalam berbagai era itu menyiratkan inkonsistensi dalam konsep yang
dimaksud dengan mengarahkannya kepada terbentuknya warga negara yang baik dalam
pengertian “democration citizen”.
Perjalanan panjang sejarah
Pendidikan Kewarganegaraan dengan segala dampak dan implikasinya itu semakin
mempertegas perlunya pembaharuan konsep dan paradigma kewarganegaraan yang
baru. Dalam penerapan konsep-konsep Pendidikan
Kewarganegaraan yang baru tersebut didasari oleh adanya pengaruh dari dalam dan
luar sistem politik sebuah negara seperti halnya Indonesia akan berpengaruh
terhadap penyiapan individu warganegara. Secara singkat hal-hal yang dianggap
berpengaruh itu diantaranya:
1.
Gagalnya penerapan konsep Pendidikan Kewarganegaraan yang
lalu, sebagai akibat dan penekanan pada kebenaran yang bersifat monovision
dan sama sekali mengabaikan kemungkinan multivision atau jika dilakukan
hanya bersifat semu.
2.
Terjadinya perubahan sistem politik yang lebih mengarah pada
upaya reformasi diberbagai bidang kehidupan baik sosial dan budaya, politik itu
sendiri, ekonomi dan hukum yang meliputi sistem pendidikan umumnya dan
pendidikan kewarganegraan pada khususnya.
3.
Perubahan pada atribut warga negara yang oleh Cogan (1998:
2-3) dikelompokkan kedalam lima kategori seperti :’
a. A sense of identity
b. The enjoyment of
certain rights
c. The fulfilmnet of
corresponding obligations
d. A degree of interest
and involvement in public affairs, and
e. An acceptance of basic
societal value.
4.
Pengaruh kecenderungan global yang bersifat umum meliputi : The global
economy, Technology and Communications dan Population and
environment.
5.
Kecenderungan global Pendidikan Kewarganegaraan untuk demokrasi. (Budimansyah
Dasim dan Syam. S, 2007:p.61-62)
Sedangkan menurut
Azis Wahab dan Sapriya (2011) dikutip dari bukunya, kelemahan Pendidikan
Kewarganegaraan di masa lalu adalah sebagai berikut:
1. Terlalu menempatkan
aspek nilai moralbelka yang menempatkan siswa sebagai obyek yang berkewajiban
untuk menerima nilai-niai tertentu
2. Kurang diarahkan
pada pemahaman struktur, proses dan institusi-institusi negara dengan segala
kelengkapannya
3. Pada umumnya
bersifat dogmatis dan relatif
4. Berorientasi kepada
kepentingan rezim berkuasa.
Hasil analisis terhadap perkembangan
pendidikan demokrasi melalui Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
menurut Winataputra : 1999 (dalam Azis Wahab dan Sapriya: 2011) mengatakan
bahwa adanya kelemahan-kelemahan yang mendasar pada tingkatan paradigma
sehingga mengakibatkan ketidakjelasan, baik dalam tataran teori ataupun tataran
praksis. Kelemahan-kelemahan tersebut teridir atas emepat kelemahan pokok,
yaitu :
1. Kelemahan dalam
konseptualisasi Pendidikan Kewarganegaraan
2. Penekanan yang
sangat berlebihn pada proses pendidikan moral behavioristik, terperangkap pada
penanaman nilai yang cenderung indoktrinatif (values inculcarion)
3. Ketidakkonsistenan
penjabaran berbagai dimensi tujuan Pendidikan Kewarganegaraan ke dalam kurikulum
Pendidikan Kewarganegaraan
4. Kterisolasian proses
pembelajaran dari konteks disiplin keilmuan dan lingkungan sosial budaya.
Menurut Muhamad Nu’man
Soemantri (2010; 8) permasalahan pada abad ke 21 pada PKn yaitu:
a.
Kebebasan dan demokrasi
b.
Liberalisasi dalam kehidupan
c.
Kemandirian dalam kelompok
d.
Berkembangnya IPTEK
e.
Dorongan ingin terus maju
b. Adakah teori yang dapat
dijadikan alternative untuk mengatasi masalah kewarganegaraan di Indonesia?
Jawab:
Ada, yaitu Teori Neo Republikan atau Kewarganegaraan alternatif
yang merupakan gabungan dari ketiga teori sebelumnya (liberal individual, Komunitarian, Republik). Teori neo republikan
merupakan teori yang melengkapi dari kekurangan teori-teori sebelumnya sehingga
dapat juga dikatakan teori neo republikan sebagai teori yang mengatasi masalah
kewarganegaraan di Indonesia. Karena teori ini lebih cocok diterapkan di
Indonesia dengan dasar negara pancasila dan UUD 1945.
Ketiga teori tersebut dianggap tidak memberikan jaminan
sistem penyelenggaraan negara yang harmonis khususnya sistem hubungan antar
warga negara dan negara. Pada dasarnya teori neo-republikan meliputi unsur-unsur pemikiran yang ada dalam
ketiga teori tersebut. Dengan kata lain, teori neo republikan merupakan
kombinasi atau gabungan dari unsur-unsur tiga teori kewarganegaraan sebelumnya.
Perubahan dasar pemikiran
kewarganegaraan pada masa ini secara global sangat signifikan.Perubahan
orientasi kewarganegaraan pada masa kontemporer khususnya dalam konterks global
citizen yaitu dengan melihat dan menganalisi permasalahan dan konflik yang dihadapi
hampir oleh semua negara dunia.Perubahan itu ditandai dengan perubahan
pandangan manusia terhadap teori-teori kewarganegaraan yang ada.Orientasi
kewarganegaraan memandang bahwa Teori Kewarganegaraan Alternatif (Neo-Republikan)
menjadi sangat tepat untuk dipraktekkan di setiap negara.karena teori-teori
lama tentang kewarganegaraan, seperti: Teori Kewarganegaraan
Liberal-Individualis; Teori Kewarganegaraan Komunitarian; dan Teori
Kewarganegaraan Republik; sudah tidak cocok dipraktekkan secara pragmatis, pada
masyarakat modern ini. Demikian pula di Indonesia, dewasa ini adopsi atas
perubahan orientasi kewarganegaraan diaplikasikan pada saat sekarang ini sesuai
dengan teori kewarganegaraan alternatif (neo republikan).
Pengertian teori kewarganegaraan
alternatif menurut Abdul Azis Wahab dan Sapriya, (2011: 191), adalah: “Teori ini meliputi unsur-unsur pemikiran
yang ada dalam teori kewarganegaraan komunitarian, republikan, dan liberal
individualis. Dengan kata lain, teori ini merupakan kombinasi atau gabungan
dari unsur-unsur tiga teori kewarganegaraan sebelumnya.”
Menurut Sapriya dan Abdul Aziz Wahab (2011: 267) PKn
memiliki ciri pendekatan interdisipliner berlandaskan pada teori-teori disiplin
ilmu-ilmu sosial, yang secara struktural bertumpu pada disiplin ilmu politik.
Teori-teori di bawah ini pada dasarnya akan membentuk perilaku warga negara
melalui proses pembelajaran Pendidikan Kewargangeraan :
1)
Teori-teori Emile
Durkheim, yaitu teori Anomi, teori Konsensus, dan teori Solidaritas atau
kesadaran kolektif.
2)
Teori-teori Thomas
Hobbes, yaitu teori Kontrak Sosial, Teori Kedaulatan, dan teori Individualisme.
3)
Teori-teori John
Locke, yaitu teori Kekuasaan Negara yang Terbatas dan teori Liberalisme Modern.
4)
Teori-teori Jean
Jackques Rousseau, yaitu teori Kontrak Sosial, teori Romantisme.
3. Penanaman
dan pengembangan kewarganegaraan dikalangan young
generation (hypothetical citizens), khususnya dikalangan peserta didik
sangat penting.
a. Bagaimana
strategi pengembangan pendidikan kewarganegaraan pada dimensi kurikuler di
Indonesia?
Jawab:
PKn sebagai kajian
ilmu kependidikan yang memusatkan perhatian pada pengembangan warga negara yang
cerdas, demokratis, dan religious serta memiliki karakteristik yang multi
dimensional, perlu dilihat dalam tiga kependudukan.
Pertama, PKn sebagai suatu
kajian mengenai “civic virtue” dan “civic culture” yang menjadi landasan
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai program kurikuler dan gerakan sosial budaya
kewarganegaraan. Kedua, PKn sebagai program kurikuler memiliki visi dan misi pengembangan
kualitas warga negara yang cerdas, demokratis, dan religious baik dalam latar
pendidikan di sekolah maupun di luar sekolah, yang berfungsi sebagai dasar
orientasi dari keseluruhan upaya akademis untuk memahami fenomena dan
masalah-masalah sosial secara interdisipliner, sehingga siswa dapat mengambil
keputusan yang jernih dan bernalar serta bermanfaat yang sebesar-besarnya bagi
individu, masyarakat, bangsa dan negara. Ketiga, PKn sebagai gerakan sosial
budaya kewarganegaraan yang sinergistik dilakukan dalam upaya membangun “ civic
virtue” dan “civic culture” melalui partisipatif aktif secara cerdas,
demokratis, dan religious dalam lingkungannya. (Winataputra,1999:23).
Pendidikan Kewarganegaraan
(Civic Education) merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi
nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor “value-based education”. Konfigurasi atau
kerangka sistemik PKn dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut.
1.
Pertama, PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek
pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi
warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan
bertanggung jawab.
2.
Kedua, PKn secara teoritik dirancang sebagai subjek
pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik
yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks
substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis,
dan bela negara.
3.
Ketiga, PKn secara pragramatik dirancang sebagai subjek
pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content
embedding values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk
berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan
merupakan tuntunan hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai,
konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara.
Dalam
Sapriya dan Wahab (2011: 280) strategi pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan
pada dimensi kurikuler Indonesia dapat dilihat dalam beberapa regulasi tentang
pendidikan antara lain :
1)
Undang-undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan Nasional. “Pendidikan Kewarganegaraan
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa
kebangsaan dan cinta tanah air”. (Pasal 37 ayat (1) Penjelasan UU No. 20 Tahun
2003).
2)
Permendiknas Nomor 22
tahun 2006 tentang Standar Isi.
3)
Permendiknas Nomor 23
tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
4)
KTSP yang dibuat oleh
tiap satuan pendidikan dengan mengacu pada Permendiknas No 22 dan 23 tahun 2006
serta pedoman dari BSNP, pengembangan kurikulum berdasarkan prinsip-prinsip berikut
:
a.
Berpusat pada potensi,
perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
b.
Beragam dan terpadu.
c.
Tanggap terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
d.
Relevan dengan
kebutuhan kehidupan.
e.
Menyeluruh dan
berkesinambungan.
f.
Belajar sepanjang
hayat.
g.
Seimbang antara
kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
5)
Undang-undang Nomor 3
tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pasal 9 ayat 2 menyatakan bahwa PKn
merupakan salah satu dari bentuk upaya penyelenggaraan bela negara.
6)
Undang-undang Nomor 12
tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam Pasal 35 ayat (3) menyatakan bahwa
Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat mata kuliah agama, Pancasila,
Kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.
Selain
regulasi pendidikan, kita juga dapat mengetahui dari perubahan nama dan muatan
dalam pendidikan kewarganegaraan sejak kurikulum tahun 1957 (print out slide
perkuliahan, Sapriya,9/3/2012) dijelaskan bahwa PKn semakin berkembang sejak
muncul istilah Kewarganegaraan dalam kurikulum Tata Negara SMP/SMA, kemudian
1961 berganti civics, 1968 menjadi pendidikan kewargaan negara, 1975 berubah
menjadi PMP, 1994 berubah menjadi PPKn, dan 2006 menjadi PKn.
Perubahan tersebut
bukan hanya nama, melainkan muatan materi yang semakin berkembang dan mengikuti
perkembangan masyarakat dan negara.
Strategi pengembangan
pendidikan kewarganegaraan harus memperhatikan kondisi permasalahan yang sering
dihadapi oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari baik masalah lokal, nasional
dan internasional. Hal ini penting agar dalam pengembangan pendidikan
kewarganegaraan dapat menyentuh realitas, seperti relitas aktifitas politik,
ekonomi, sosial-budaya, sehingga siswa dapat berpartisipasi dalam aktifitas
realitas tersebut.
Seperti dalam buku teori dan
landasan PKN oleh Prof. Sapriya (2011:280) landasan kurikuler pada tahun 2003
disahkan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-undang tersebut telah menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap
perubahan sistem kurikulum di Indonesia. Salah satu implikasi dari ketentuan
tersebut adalah lahirnya peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 tentang
standar Nasional Pendidikan (SNP). Menurut pasal 35 Undanng-undang No. 20 tahun
2003, Standar Nasional Pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan
kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pengelolaan dan
pembiayaan.
Pasal 2 ayat 1 peraturan
pemerintah No. 19 tahun 2005 dinyatakan sandar nasional meliputi:
1. standar isi
2. standar proses
3. standar kompetensi lulusan
4. standar pendidik dan tenaga kependidikan
5. standar sarana dan prasarana
6. standar pengelolaan
7. standar pembiayaan
8. standar penilaian pendidikan
Berdasarkan hal-hal tersebut
di atas, perlu dilakukan pengkajian secara menyeluruh terhadap masalah-masalah
mendasar sehingga PKn dapat diberdayakan menjadi “subjek pembelajaran yang
kuat” (powerful learningarea) yang
secara kurikuler ditandai oleh pengalaman belajar secara kontekstual dengan
ciri-ciri sebagai berikut: bermakna (meaningful),
terintegrasi (integrated), berbasis
nilai (value-based), menantang (challenging), dan mengaktifkan (activating). Melalui pengalaman belajar
semacam itu para siswa difasilitasi untuk dapat membangun pengetahuan, sikap,
dan keterampilan kewarganegaraan yang demokratis dalam koridor
psiko-pedagogis-konstruktif.
b. Uraikan materi (competency) sebagai bahan pengembangan
pendidikan kewarganegaraan yang cocok dan layak untuk kondisi siswa di
Indonesia ?
Jawab:
Civic Education dalam konteks Perguruan
Tinggi Islam diarahkan pada nation and character building dengan memiliki 3
materi pokok, yakni demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani. Ketiga
core materials tersebut didukung dengan beberapa 6 pokok bahasan, yakni Identitas
Nasional, Negara, Warganegara, Konstitusi, Otonomi Daerah dan Good Governance.
Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, serta ciri khas lembaga pendidikan masing-masing.
Karena maksud dikembangkannya Pendidikan Kewarganegaraan adalah ;
1.
Pendidikan Kewarganegaraan
dipersiapkan untuk membangun masyarakat sipil (civil society), yakni masyarakat madani Indonesia.Pendidikan
Kewarganegaraan mengajarkan bagaimana memberdayakan peran yang lebih besar pada
individu sebagai anggota masyarakat warganegara Indonesia yang cerdas dan
berakhlak mulia.
2.
Pendidikan demokrasi dalam Pendidikan
Kewarganegaraan dilaksanakan melalui pengembangan pada 3 (tiga) aspek, yakni ;
a.
Kecerdasan dan daya nalar warga
negara (civic intelligence) baik
dimensi rasional, emosional dan spiritual, maupun sosio-kultural.
b.
Kesadaran akan hak dan kewajiban
sebagai warga negara yang bertanggung jawab (civic responsibility)
c.
Kemampuan berpartisipasi warganegara
(civic participation) atas dasar
tanggung jawab, baik secara individu, sosial maupun sebagai kader pemimpin masa
depan yang lebih baik.
Sejalan
dengan pengembangan dan penerapan kurikulum yang berbasis kompetensi di
perguruan tinggi, maka mahasiswa juga harus memiliki tiga ranah, yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotor dengan mempertimbangkan ciri khusus dalam
Pendidikan Kewarganegaraan lulusan yang telah menempuh mata kuliah ini
diharapkan memiliki kompetensi:
a.
CIVIC KNOWLEDGE, yaitu kompetensi
yang berkaitan dengan pengetahuan yang berhubungan dengan keilmuan
kewarganegaraan, seperti teori tentang negara, terbentuknya masyarakat,
identitas nasional, demokrasi, HAM, dan lain sebagainya
b.
CIVIC SKILL, yaitu kompetensi yang
menyangkut kemampuan atau keterampilan untuk memasuki masyarakat selaku warga
negara yang baik seperti keikutsertaannya dalam kegiatan kemasyarakatan baik
secara intelektual atau prilaku (behaviour)
c.
CIVIC DISPOSITION, yaitu terbentuknya
watak mahasiswa yang bersumber pada kepribadian bangsa atau jati diri bangsa
(Majelis Dikti Litbang PP Muhamadiyah 2005:4)
Proses pendidikan pada
dasarnya tidak hanya bertujuan pada kecerdasan peserta didik, namun juga
pembinaan terhadap nilai-nilai moral siswa. Hal tersebut menjadi perhatian
pendidikan kewarganegaraan sebagai mata pelajaran yang berbasis pada
nilai-nilai moral. Pada dasarnyaPendidikan Kewarganegaraan harus memenuhi tiga
aspek, yaitu pengetahuan, keterampilan (skill),
dan pembentukan karakter. Menurut Center for Civic Education pada tahun
1994 dalam National Standards for Civics and Government, ketiga komponen
pokok tersebut ialah civic knowledge, civic skills, dan civic dispositions (Margaret
S. Bronson, dkk., 1999:8-25). Dari tiga aspek itulah maka kompetensi yang
diharapkan dari pendidikan kewarganegaraan juga menyesuaikan dengan ketiga aspek
tersebut diatas.
Secara sederhana pengertian kompetensi dapat
dipahami sebagaikemampuan yang dimiliki seseorang setelah melalui beberapa
proses pendidikan, memiliki kecerdasan dan tanggung jawab dalam bidang
tertentu. Kompetensi yang diharapkan setelah menempuh pendidikan
kewarganegaraan adalah dimilikinya seperangkat tindakan cerdas dan penuh
tanggung jawab dari seorang warga negara dalam berhubungan dengan negara serta
mampu turut serta dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat,
bangsa, dan negara sesuai dengan profesi dan kapasitas masing-masing. Sifat
cerdas yang dimaksud tampak dalam kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan dalam
bertindak, sedangkan sifat tanggung jawab diperlihatkan sebagai kebenaran
tindakan ditinjau dari nilai agama, moral, etika, dan budaya.
Pendidikan kewarganegaraan yang berhasil akan
menumbuhkan sikap mental yang bersifat cerdas dan penuh tanggungjawab pada
perserta didik dengan perilaku yang (a) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan menghayati nilai-nilai falsafah bangsa, (b) berbudi pekerti
luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, (c) bersikap
rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, (d)
bersikap profesional yang dijiwai oleh kesadaran belanegara, serta (e) aktif
memanfaatkan ilmu dan teknologi serta seni untuk kepentingan kemanusiaan,
bangsa, dan negara. Melalui pendidikan kewarganegaraan diharapkan warganegara
mampu memahami, menganalisis, serta menjawab berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat, bangsa, dan negara secara tepat, rasional, konsisten,
berkelanjutan, dan bertanggung jawab dalam rangka mencapai tujuan nasional;
menjadi warga negara yang tahu hak dan kewajibannya, menguasai ilmu dan
teknologi serta seni namun tidak kehilangan jati diri.
Untuk
mengetahui materi apa yang harus dikembangkan dalam PKn, maka kita dapat
merujuk pada pendapat Margaret Branson (dalam Print Out Slide perkuliahan
9/3/2012) civic competence yaitu mencakup Civic Knowledge, Civic Skill, Civic
Dispotition. Untuk masing-masing klaster kemampuan tersebut dapat dirinci
sebagai berikut (CCE, dalam Udin Winataputra dan Dasim Budimansyah, 2007: 31) :
1.
Knowledge : The Content of civic Education :
·
Why do we need a government ?
·
The purpose of government
·
Constitutional Principles
·
Structure of goverenment
·
Concept, principles, and values underlying the political
system, i.e., Authority, Justice, Diversity, Rule of Law.
·
Individual rights (personal, political, economic)
·
Responsibilities of citizen
·
Role of citizen in a democracy
·
How the citizen can participate in community decisions
2.
Skill : What a citizen needs to be able to do to participate
effectively :
Critical thinkings skills : Gather and asses information,
Clarify and prioritize, identify and assess consequences, Evaluate, reflect.
Participation skills : communicate, negotiate, cooperate,
manage conflict peacefully and fairly, reach consensus.
3.
Attitudes/Beliefs : Character or dispotitions of citizen :
Personal character : Moral responsibility, self discipline,
respect for individual dignity and diversity of opinion (empathy)
Public character : respect for the law, Willingness to
participate in public affairs, Commitment to the rule of the majority with
respect for the rights og the minority, Commitment to the balance between
self-interest and the common welfare, Willingness to seek changes in unjust
laws in a peaceful and legal manner.
4.
Civic Dispotitions : Civility, Respect for the rights of
other individuals, Respect for law, Honesty, Open mindedness, Critical Mindedness,
Negotiation and compromise, Persistence, Compasion, Patriotism, Courage,
Tolerance of ambiguity.
Menurut
Sapriya dan Wahab (2011: 18) menyatakan bahwa sebagai warga negara demokratis
yang kompeten atau memiliki kemampuan tertentu untuk :
·
Mengetahui teori dan
latar belakang pemerintahan yang demokratis,
·
Berbagai tanggung
jawab pemerintahan.
Jadi
dua hal tersebut di atas pun harus dikembangkan dalam PKn. Selain itu pun agar
tujuan pembelajaran PKn agar memiliki kompetensi dasar warga negara Indonesia harus
memiliki :
1.
Acquiring and using
information.
2.
Assesing involvement.
3.
Making decisions.
4.
Making judgements.
6.
Cooperating
7.
Promoting interests.
Ketujuh
kompetensi tersebut harus dilihat sebagai seperangkat alat atau pedoman untuk mengidentifikasi
dasar-dasar apa yang dibutuhkan dalam menyiapkan warga negara untuk kehidupan
masa kini dan masa yang akan datang.
Setidaknya
mereka kini telah mencapai suatu konsensus akademis dan programatik yang
padagilirannya akan memandu terjadinya proses kurikulum yang Iebih koheren.
Bagi Indonesia konsensus serupa sangatlah penting dan didambakan untuk
mendapatkan paradigma yang cocok mengenai pendidikan bidang sosial di sekolah.
Kedudukan
(status) wawasan nusantara adalah posisi, cara pandang, dan perilaku bangsa
Indonesia mengenai dirinya yang kaya akan berbagai suku bangsa, agama, bahasa,
dan kondisi lingkungan geografis yang berwujud negara kepulauan, berdasarkan
pancasila dan UUD 1945. Secara hierarki, posisi atau status wawasan nusantara
menempati urutan ketiga setelah UUD 1945.
Urutan
sistem kehidupan nasional Indonesia adalah:
a.
Pancasila sebagai filsafat, ideologi
bangsa, dan dasar negara.
b.
UUD 1945 sebagai konstitusi negara.
c.
Wawasan nusantara sebagai geopolitik
Indonesia.
d.
Ketahanan nasional sebagai
geostrategi bangsa dan negara Indonesia.
e.
Politik dan strategi nasional sebagai
kebijaksanaan dasar nasional dalam pembangunan nasional.
Bentuk Wawasan Nusantara
o
Wawasan
nusantara sebagai landasan konsepsi ketahanan nasional
o
Wawasan
nusantara sebagai wawasan pembangunan
o
Wawasan
nusantara sebagai wawasan pertahanan dan keamanan negara
o
Wawasan
nusantara sebagai wawasan kewilayahan